Rabu, 25 Agustus 2010

Tak Ada Obat Yang Aman (Reader’s Digest Indonesia)

Itu peringatan buat kita semua. Pada dasarnya, sekecil apapun dosis obat, tetap ada resiko negatifnya.

“Bahkan, obat yang mengklaim dirinya paling aman sekalipun, masih bisa membuat kita tersedak,” kata Tuning Nina, Kepala Sub Direktorat Pengawasan Penandaan dan Promosi Produk Terapeutik dan Produk Kesehatan Rumah Tangga Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Jadi, mengapa diizinkan beredar? Menurut Tuning, itu berhubungan dengan risk benefit. “Izin edar diberikan untuk obat yang resikonya rendah dan efek sampingnya mudah diatasi,” jelas Tuning.

Pernyataan “tak ada obat yang aman” diamini kolumnis dan penulis dr. Handrawan Nadesul. Menurutnya, semakin tinggi dosis obat yang kita minum, semakin berat tubuh menanggung efek samping obat tersebut. Memang, imbuhnya, gejala penyakit akan cepat sembuh, tapi tidak menyembuhkan sumber penyakitnya. “Tubuh membutuhkan waktu untuk sembuh secara bertahap. Dan untuk itu, dosis obat yang rendah lebih menguntungkan kita,” katanya.

Handrawan menyarankan agar masyarakat lebih kritis terhadap dokter yang memberikan ‘resep keras’ alias resep berisi banyak obat (multifarmasi) yang kadang sebenarnya tidak kita butuhkan, atau dosis obat yang dilebihkan. “Termasuk lebih kritis terhadap diri sendiri dalam menyikapi obat-obat yang akan dikonsumsi,” katanya.

Inilah yang harus kita perhatikan tentang obat dan penggunaannya:

1. Menjadi racun bila tidak tepat alamat dan salah menggunakannya.
2. Seenteng-entengnya obat, tetap saja mempunyai efek samping.
3. Tidak memperlakukan obat sebagai kacang goreng. Artinya, jangan asal beli obat.
4. Berhenti minum obat jika tidak memberikan kesembuhan atau penyakit malah makin progresif.
5. Penggunaan antibiotika harus dihabiskan dan tidak membeli separuh resep.

0 komentar:

Posting Komentar